Skiso Nation

Tanggal 5 November 2004 mungkin hanya akan menjadi hari yang biasa untuk sebagian manusia yang ada di muka Bumi ini. Tidak di negara lain, tidak juga di Indonesia.

Tapi bagi sebagian lainnya lagi, entah berapa persen sebagian lainnya itu, tanggal 5 November akan selalu diingat, sebagai hari yang, yaaa, meski tidak terlalu spesial, tapi akan dijadikan hari yang layak untuk di kenang, mungkin sampai tua nanti.

Bermula dari sebuah serendepity yang indah. Meski aku yakin tidak ada yang namanya kebetulan itu. Semua sudah tersistem dengan baik, kami tinggal menjalankan sebab-akibatnya saja.

Itu adalah sebuah hari di bulan puasa kalau saya tidak salah ingat. Hari yang menyenangkan, karena sekolah hanya setengah hari, dan bermainnya jadi berkali-kali lebih banyak. Haha, sungguh sangat menyenangkan.

Seragam kami putih-abu saat kami sering ngabuburit di rumah teman-teman sekolah kami. Kalau biasanya orang ngabuburit di tempat keramaian yang banyak pemandangan sekaligus penjaja makanan, kami lebih memilih bersilaturahim ke rumah kawan-kawan sekolah kami, baik yang satu kelas ataupun tidak.

Modus sebenarnya itu. Haha. Kalau teman-teman lain mungkin tidak, tapi kalau aku bisa dipastikan, sangat pasti iya, iya modus. 😀

Hingga tanggal 5 November 2004 itu datang. Biasanya setelah kami berbuka puasa keliling (disingkat: bukling), kami berjamaah Tarawih di kost putri dari salah dua kawan kami.

Bukan berniat sok religius, tapi lebih karena kalau Tarawih berjamaah sendiri bersama kawan-kawan begitu, selesainya lebih cepat. Hehe. Tidak selama kalau tarawih di masjid. Bisa di order suruh lebih cepat soalnya. Hahaha, kelakuan buruk memang. Harap maklum, begitulah kelakuan ABG. Minimal ABG-ku dulu.

Pada hari-hari sebelumnya itu tidak jadi masalah. Tapi di hari 5 November itu, kami mendapati hal itu menjadi masalah.

Kau tahu lah, biar bagaimanapun itu kost putri. Setidak-tidak ngapainnya kami di kost putri itu, tetap saja akan tidak boleh kalau kami sampai malam.

Dan memang 5 November itu kami sudah terlalu malam di kost putri salah dua kawan kami itu. Kami selesai salah Tarawih sekitar pukul setengah 10 malam. Itu karena kami pulang Buka Keliling dari rumah kawan yang lain juga sudah lewat malam pula.

Biasanya kami tidak masalah. Tapi malam itu masalah, karena nenek lampir, begitu kawan kami yang kost disitu menyebutnya, kami hanya mengikuti mereka memanggil begitu, pulang ke kost putri dan menginap disitu.

Nenek lampir itu putri dari bapak empunya kost. Bapak Bajuri namanya. Bapak Bajuri tidak seperti anaknya yang galak. Selama kami tidak berisik dan melakukan macam-macam, sampai malam pun kadang dibiarkan saja sama Bapak Bajuri, apalagi kalau sedang belajar.

Toh memang biasanya kami hanya mengobrol saja di teras depan kost itu, yang banyak lampu dan tempatnya tepat di depan pinggir jalan. Banyak orang lewat disana. Mau ngapain kami? Kalau manusianya seperti aku kebanyakan ya hanya ngobrol, tapi ada juga tipikal lain yang belajar di teras itu. Aku sih bisa dipastikan tidak termasuk dalam golongan yang belajar.

Nenek lampir yang galak dan jahat itu, haha, lebay ding. Ya, nenek lampir yang menyebalkan itu, tidak suka bila kami terlalu malam di kost putri. Terlalu malam itu ya antara pukul delapan sampai sembilan malam lebih sedikit lah.

Dia sering marah-marah ke anak kost disitu kalau ada teman cowok yang main. Beruntung dia tidak setiap hari berada di kost putri. Karena kost putri itu adalah base camp kumpul tak resmi kami. Khususon aku. Bisa berabe kan kalau dia di kost putri tiap hari? Aku harus cari base camp baru dong. Haha.

Malam itu, 5 November 2004, kawan kost putri kami kebingungan bagaimana mengeluarkan kami dari dalam mushola kost putri agar tidak papasan dengan nenek lampir. 

Aku sih tidak bingung. Karena nanti kan yang kena semprot sama nenek lampir bukan aku. Tapi pasti mereka, kawanku itu. Hehe. Di suasana yang tegang dan genting mushola putri, aku malah bercanda dengan kawan cowok satunya lagi. Aku seperti merasa berada di dalam salah satu adegan warkop yang panik tapi lucu. Haha. Khawatir, tapi juga ingin ketawa keras-keras.

Dan ide yang muncul untuk membawa kami aman meloloskan diri dari sergapan nenek lampir sungguh  semakin membuatku merasa seperti berada dalam sebuah adegan warkop saja. Aku ingin tertawa keras sambil guling-guling waktu itu. Tapi tidak jadi. Karena gulingnya kan tidak ada.

Kami pria-pria tanggung setengah matang, yang sudah mulai tumbuh kumis dan jenggot itu, dipaksa mengenakan mukena kawan-kawan putri kami. Oh, sungguh cantiknya kami malam itu dengan mukena yang cantik itu. 

Meski sudah mengenakan mukena, kami tetap harus mengendap-endap agar tidak ketahuan nenek lampir. Sesampainya di halaman depan, kami dorong motor kami sejauh mungkin agar tidak terdengar oleh nenek lampir. Ah, sudah seperti pencuri saja kami waktu itu, dorong-dorong motor milik kami sendiri.

Tapi sejak itu, tanggal 5 November 2004 jadi hari bersejarah untuk kami. Hari penanda kelahiran sebuah negara kecil akibat serendepity, yang kami beri nama Skisofriend. Karena akulah yang mencetuskan nama negara itu, jadilah aku yang menjadi Presiden Pertama dari negara itu.

*****

34179_1382264271069_6864488_n SkisoNation

Negara kami luasnya tak berbatas. Karena negara kami tidak terikat dengan aturan geografis. Dimanapun kami berada, disitulah kami terikat dengan Negara SKISO dan sekaligus terikat dengan aturan wilayah geografis negara yang kami tempati. Kebetulan, kami semua warga negara SKISO terikat dengan wilayah Indonesia.

 Negara SKISO adalah negara yang efektif dan minimalis. Terdiri dari perangkat yang seperlunya dan seadanya. Pendiri negara ini ada empat orang, aku salah satunya.

Seperti tadi disebut di atas, karena akulah yang mencetuskan nama Negara Skisofriend, jadilah aku secara aklamasi ditetapkan sebagai Presiden. Satu orang teman cowok, kami angkat sebagai Tim Sukses, tugasnya adalah mengadakan kegiatan kenegaraan SKISO sekaligus merekrut sebanyak mungkin penduduk untuk negara kami.

Dua orang lagi pendiri, kebetulan dua-duanya wanita, kami tetapkan sebagai bendahara dan sekretaris. Tugasnya adalah menjadi bendahara dan sekretaris, meski itu mungkin hanya menjadi pelengkap struktur negara kami saja.

Kami tidak dipusingkan dengan hubungan diplomatik luar negeri. Biarlah itu negara yang kami tumpangi saja yang mengurusnya. Kami bersenang-senang saja dengan negara kecil kami ini.

Urusan pendapatan negara kami juga tidak repot. APBN segala macamnya itu urusan mudah buat kami. Karena kami tinggal minta orang tua kami, maka urusan keuangan di Negara SKISO terselesaikan sudah.

Sempat dulu di awal berdiri, Negara SKISO mendapat beberapa warga negara baru. SKISO juga mendapat banyak simpatisan yang hanya bergabung dalam kegiatan kenegaraan kami tanpa mau bergabung menjadi warga negara.

Kami sebagai negara yang baik hati dan tidak suka menabung membebaskan semua itu. Mau jadi simpatisan ataupun warga negara, silahkan saja. Mau masuk jadi warga negara, kemudian habis itu keluar lagi, ya monggo juga. Silahkan saja. Bebas.

Tidak ada birokrasi rumit di negara kami. Masuk-keluar dan keluar-masuk, itu hal yang mudah dilakukan. Kami tidak memaksa dan mengintimidasi. Biarlah kata hati warga negara kami yang menentukan, ingin di dalam negara SKISO atau berdiri di luar.

Sekarang, setelah 10 tahun berjalan, negara SKISO menyisakan empat pendirinya saja. Setidaknya begitu yang aku ingat sebagai Presiden. Ya, setelah 10 tahun berdiri, tidak ada yang ingin mengkudeta aku sebagai Presiden dan menggantikan posisiku sekarang. Begitu juga dengan tiga pendiri lainnya, mereka masih dengan jabatan masing-masing.

Namun memang sudah beberapa tahun terakhir ini negara SKISO kami biarkan berAUTOPILOT. Dua warganya, Presiden dan Tim Sukses, sementara ini menginduk di Ibukota negara Indonesia, memiliki kewarganegaraan ganda, sebagai warga negara SKISO sekaligus warga negara Indonesia.

Begitu juga dengan bendahara dan sekretaris, sementara ini menginduk di D.I. Yogyakarta, dengan status warga negara ganda juga.

Ada beberapa tambahan warga negara sebenarnya, hanya saja memang belum sempat kami lantik di Sidang Istimewa negara SKISO. Karena dua atau tiga tahun terakhir ini, Sidang Tahunan negara SKISO sedang vakum karena alasan satu dan lain hal.

Aku sebagai Presiden tidak pernah berniat membubarkan negara ini. Entah dengan tiga pendiri lainnya. Kalau negara ini memang suatu saat nanti harus dibubarkan, itu harus berdasarkan keputusan musyawarah mufakat antara pendirinya.

Biarlah sementara ini negara SKISO masih berAUTOPILOT, sampai nanti pada waktunya kami ambil alih posisi PILOT dan kami kendalikan negara SKISO ini sepenuhnya. Atau diterjunkan sesukanya. 😀

*****

2 pemikiran pada “Skiso Nation

    • Dulu waktu masih belum pada berkeleuarga masih sering ngumpul, Ham. Minimal pas lebaran. Tapi kalau sekarang rada susah ngumpul bareng-bareng semuanya. Soalnya mudiknya udah ngga di satu tempat lagi. 😀

      Pengen suatu saat nanti ngumpul bareng bawa keluarga masing-masing. Tapi entah kapan, belum tahu.

      Ngasih nama Skisofriend dulu gegara habis baca buku pasien yang dirawat di Ghrasia Jogja, Ham. Pasien ini skisofrenia, kemudian dia nulis buku tentang pengalamannya jadi skisofrenia. Aku nyari-nyari bukunya sekarang udah susah…

Tinggalkan komentar